Jumat, 15 Oktober 2010

Orang Indonesia JadiProfesor Termuda diAmerika



Nelson Tansu meraih gelar
Profesor di bidang
Electrical Engineering di
Amerika sebelum berusia
30 tahun. Karena last
name-nya mirip nama
Jepang, banyak petinggi
Jepang yang mengajaknya
"pulang ke Jepang" untuk
membangun Jepang. Tapi
Prof. Tansu mengatakan
kalau dia adalah
pemegang paspor hijau
berlogo Garuda Pancasila.
Namun demikian, ia
belum mau pulang ke
Indonesia. Kenapa?
Nelson Tansu lahir di
Medan, 20 October 1977.
Lulusan terbaik dari SMA
Sutomo 1 Medan. Pernah
menjadi finalis team
Indonesia di Olimpiade
Fisika. Meraih gelar
Sarjana dari Wisconsin
University pada bidang
Applied Mathematics,
Electrical Engineering and
Physics (AMEP) yang
ditempuhnya hanya dalam
2 tahun 9 bulan, dan
dengan predikat Summa
Cum Laude. Kemudian
meraih gelar Master pada
bidang yang sama, dan
meraih gelar Doktor
(Ph.D) di bidang Electrical
Engineering pada usia 26
tahun. Ia mengaku orang
tuanya hanya membiayai-
nya hingga sarjana saja.
Selebihnya, ia dapat dari
beasiswa hingga meraih
gelar Doktorat. Dia juga
merupakan orang
Indonesia pertama yang
menjadi Profesor di
Lehigh University
tempatnya bekerja
sekarang.
Thesis Doktorat-nya
mendapat award sebagai
"The 2003 Harold A.
Peterson Best ECE
Research Paper Award"
mengalahkan 300 thesis
Doktorat lainnya. Secara
total, ia sudah menerima
11 scientific award di
tingkat internasional,
sudah mempublikasikan
lebih 80 karya di berbagai
journal internasional dan
saat ini adalah visiting
professor di 18 perguruan
tinggi dan institusi riset. Ia
juga aktif diundang
sebagai pembicara di
berbagai even
internasional di Amerika,
Kanada, Eropa dan Asia.
Karena namanya mirip
dengan bekas Perdana
Menteri Turki, Tansu
Ciller, dan juga mirip
nama Jepang, Tansu, maka
pihak Turki dan Jepang
banyak yang mencoba
membajaknya untuk
"pulang". Tapi dia selalu
menjelaskan kalau dia
adalah orang Indonesia.
Hingga kini ia tetap
memegang paspor hijau
berlogo Garuda Pancasila
dan tidak menjadi warga
negara Amerika Serikat. Ia
cinta Indonesia katanya.
Tetapi, melihat atmosfir
riset yang sangat
mendukung di Amerika, ia
menyatakan belum mau
pulang dan bekerja di
Indonesia. Bukan apa-apa,
harus kita akui bahwa
Indonesia terlalu kecil
untuk ilmuwan sekaliber
Prof. Nelson Tansu.
Ia juga menyatakan
bahwa di Amerika,
ilmuwan dan dosen
adalah profesi yang
sangat dihormati di
masyarakat. Ia tidak
melihat hal demikian di
Indonesia. Ia
menyatatakan bahwa
penghargaan bagi
ilmuwan dan dosen di
Indonesia adalah rendah.
Lihat saja penghasilan
yang didapat dari kampus.
Tidak cukup untuk
membiayai keluarga si
peneliti/dosen. Akibatnya,
seorang dosen harus
mengambil pekerjaan lain,
sebagai konsultan di
sektor swasta, mengajar di
banyak perguruan tinggi,
dan sebagianya. Dengan
demikian, seorang dosen
tidak punya waktu lagi
untuk melakkukan riset
dan membuat publikasi
ilmiah. Bagaimana
perguruan tinggi
Indonesia bisa dikenal di
luar negeri jika tidak
pernah menghasilkan
publikasi ilmiah secara
internasional?
Prof. Tansu juga
menjelaskan kalau di US
atau Singapore, gaji
seorang profesor adalah
18-30 kali lipat lebih dari
gaji professor di
Indonesia. Sementara,
biaya hidup di Indonesia
cuma lebih murah 3 kali
saja. Maka itu, ia
mengatakan adalah
sangat wajar jika seorang
profesor lebih memilih
untuk tidak bekerja di
Indonesia. Panggilan
seorang profesor atau
dosen adalah untuk
meneliti dan membuat
publikasi ilmiah, tapi
bagaimana mungkin bisa
ia lakukan jika ia sendiri
sibuk "cari makan".
Dari diskusi saya dengan
beberapa dosen di
Indonesia, kelihatannya
semua meng-iya-kan apa
yang Prof. Tansu
gambarkan tentang dunia
perguruan tinggi di
Indonesia. Hmm,
memprihatinkan.


sumber : http://
ngerumpi.com/baca/2009/1
2/16/profesor-termuda-di-
amerik a-adalah-orang-
indonesia.html

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan sopan

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls